Judul buku: Rindu
Penulis : Tere Liye
Penerbit : Republika
Cetakan 1 : Oktober 2014
Tebal : 544 halaman
Harga : Rp 69.000
Menggapai Pemahaman Baik
Sebuah Novel yang berjudul “Rindu” adalah novel yang di buat
oleh Darwis “Tere Liye”. Tere Liye membuat novel ini dengan mengangkat tema religius
yang di kemas dalam lima kisah yang di awali dengan pertanyaan. Bahasa yang
digunakan mudah dimengerti, walaupun pada halaman awal agak sedikit mengerutkan
dahi, karena disuguhi dengan sejarah, seketika jadi teringat Roman karya
Pramoedya Ananta Toer. Dalam novel ini, alur yang digunakan maju dengan
diselingi kilas balik yang diungkapkan oleh masing-masing tokohnya. Perwatakan
yang disajikan pun beraneka ragam Daeng Andipati dengan sifat kebapakan, lembut
terhadap anaknya seperti yang dikutip penulis secara tersirat, emosional. Bonda
Upe dengan jiwa pengajar, namun penakut terhadap masa lalunya sendiri. Gurutta
dengan sifat bijak, dan tenang dalam menghadapi masalah, tapi tak cukup berani
untuk mengambil tindakan kongkret. Mbah Kakung yang romantis. Ambo Uleng,
pemuda melankolis, keras kepala, pembelajar yang baik, pemberani, namun tak
cukup kuat untuk menanggung derita cintanya. Tokoh dan kisah Ambo Uleng ini
sedikit memiliki kesamaan dengan tokoh Jim dalam novel “Kisah Sang Penandai”
yang juga digarap oleh Tere Liye. Dan
tokoh-tokoh pendukung lain yang tak kalah menarik. Sudut pandang yang digunakan
dalam novel adalah orang ketiga serba tahu. Sehingga penulis mengetahui segala
hal tentang tokoh-tokohnya dan dengan sudut pandang ini pembaca dapat melihat
dan merasakan alur cerita secara luas.
Novel ini di mulai dengan mengisahkan keberangkatan kapal
haji “BLITAR HOLLAND” dari Pelabuhan Makassar. Banyak yang memenuhi pelabuhan
dari mulai calon penumpang, sanak keluarga yang mengantar, atau pun pengunjung
yang sekedar ingin melihat kapal megah tersebut. Dari pelabuhan inilah Daeng
Andipati dan keluarga kecilnya menaiki Kapal Blittar Holland . Selain itu ada
juga seorang pemuda berusia dua puluh tahun lebih yang sedang di wawancara
langsung oleh Kapten Phillip—nahkoda kapal, yang akhirnya ditempatkan menjadi
kelasi dapur. Pemuda itu bernama Ambo Uleng. Sedangkan di bagian lain—dek
kapal, terjadi keributan saat pemeriksaan penumpang. Opsir Belanda membongkar
barang bawaan Ahmad Karaeng—seorang ulama mahsyur yang dicurigai akan membahayakan Pemerintah Hindia Belanda
yang saat itu sedang berkuasa di Indonesia. Namun karena Gurutta—begitulah
sapaan khas yang diberikan kepada Ahmad Karaeng, memiliki surat resmi dari
Gubernur Jenderal di Batavia, Opsir Belanda tersebut tidak bisa menghalanginya
lagi. Ada juga Bonda Upe, yang setelah shalat Maghrib pertama di atas kapal
telah disepakati bersama akan menjadi pengajar ngaji untuk anak-anak.
Hari
ketiga perjalanan, kapal merapat ke Pelabuhan Surabaya dan menaikkan penumpang
lagi. Hari kelima, kapal melanjutkan ke Pelabuhan Semarang. Dari pelabuhan ini,
naiklah Mbah Kakung Slamet dan Mbah Putri Slamet, pasangan sepuh, dan termasuk
penumpang paling tua dalam kapal ini. Dan pada hari ketujuh perjalanan, kapal
sudah sampai di Pelabuhan Batavia. Pada saat kapal tertambat di pelabuhan ini,
Gurutta mengajak beberapa penumpang untuk berkeliling sebentar di Batavia.
Namun, ada kejadian tidak terduga yang dialami oleh Bonda Upe, sehingga membuat
acara keliling Batavia tersebut sedikit menegang. Dan sekembalinya rombongan
tersebut ke kapal, Bonda Upe mengurung diri, dan tak mau mengajar ngaji lagi.
Dan entah malam yang kesekian, bergulirlah cerita tentang masa muda Daeng
Andipati, hingga tiba-tiba Gurutta dan juru masak kapal yang mendengar cerita
tersebut bingung karena Daeng terlihat emosional ketika menceritakannya. Disusul oleh Mbah Kakung Slamet, yang tak mau
makan, karena ditinggal pergi selama-lamanya oleh Mbah Putri. Padahal
perjalanan suci ini sudah didam-idamkan pasangan itu sejak dahulu. Lalu ada
cerita Ambo Uleng, yang semenjak ditemukan terkapar di suatu tempat
tersembunyi, mulai terbuka, dan mencertiakan tentang kenangan yang
ditinggalkannya di Makassar. Dan yang terakhir kisah dari Gurutta sendiri, yang
mencoba melawan rasa takut, takut akan pertempuran yang mengakibatkan luka,
karena Gurutta yakin ada jalan yang lebih baik dari pertempuran. Namun, Gurutta
sadar, bahwa tidak semuanya kita harus berdiam diri. Dan bagaimana jawaban dari
kisah lainnya? Makanya, bacalah buku ini!
Kelebihan dari novel ini, cerita dikemas dengan sangat
detail, dari waktu dan latar tempat yang disajikan. Kekurangan novel ini tidak
banyak, hanya saja ada beberapa huruf yang salah ketik. Selebihnya semua sudah
bagus, jadi untuk kita yang masih belum bisa berdamai dengan masa lalu,
untuk kita yang memiliki kebencian amat berlebih, apalagi terhadap orang yang
seharusnya kita sayangi, untuk kita yang merasa sendiri setelah ditinggal orang
yang sangat dicinta, untuk kita yang ragu akan datangnya cinta sejati, untuk kita yang masih bimbang mengambil tindakan
nyata dalam melawan kemungkaran, dan untuk kita semua yang ingin terus menerus
memperbaiki diri, perkayalah wawasanmu dengan membaca novel ini.
-Vika Rahmalia









